Senin, 15 Juli 2013

PENOLAKAN TERHADAP PEMBANGUNAN PLTA YANG DI BANGUN OLEH PEMERINTAH PROPINSI ATAS KEPENTINGAN SEPIHAK

PENOLAKAN TERHADAP PEMBANGUNAN PLTA DI KAPIRAYA OLEH SELURUH MAHASISWA DAN MASYARAKAT ADAT DI KABUPATEN DEIYAI, TIMIKA, PANIAI DAN DOGIYAI

Andreas Pakage, SH, M.Hum. Vensus Simon Pakage, SH

                                      
          Agus Anouw- Ketua Umum Lembaga Masyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, membuat satu pernyataan sikap penolakkan study kelayakan Ijin PLTA di Kali Yawei Kopai Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai yang berkaitan dengan PLTA  yang secara diam-diam telah mekabuda di mbuat MOU (Memorandum Of Understand) antara Gubernur Provinsi Papua dengan Perusahaan / PT. Hidro China tanpa melibatkan Lembaga adat yang berwenang, sehingga Lembaga Adat bersama masyarakat Adat yang berada di 3 (tiga) Kabupaten beranggapan bahwa MOU (Memorandum Of Understand) yang telah dibuat oleh kedua pihak adalah Ilegal.
            Pemerintah Provinsi Papua terutama Gubernur harus memahami, memperhatikan dan menghargai hak-hak dasar orang asli Papua yang telah tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Organisasi Kemasyarakatan yang ada di Papua khususnya Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai dibawah naungan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai. Sesuai amanat UU Nomor 21 Tahun 2001, Bab XI pada Pasal 43 menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, melindungi dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat setempat.
Pemerintah daerah harus mengakui, menghargai dan menghormati lembaga adat sebagai mitra Pemerintah dalam percepatan pembangunan di daerah, maka diharapkan Pemerintah Daerah perlu menyikapi pernyataan sikap penolakkan ini secara adil dan bijaksana sebagai ciptaan Tuhan agar surat pernyataan sikap Penolakkan ini berasal dari rakyat berarti Suara Tuhan yang perlu ditindak lanjuti dan dipertanggungjawabkan oleh MRP, DPRP, Pemerintah Provinsi (Gubernur) Papua, Bupati serta DPRD Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Mimika.
         Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, maka kami selaku tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat yang berdomisili dibagian ogeiye selatan yakni gunung mimika barat (Tembagapura), Bouwobado, kapiraya sampai  di etouw yang terdapat di 3 (tiga) kabupaten menyampaikan dan menolak ijin perusahaan Hidro China yang rencananya akan masuk investor perusahaan PLTA di Kali Yawei Distrik Kapiraya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :
1.    Berdasarkan Undang-undang  Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab XI tentang perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) berbunyi : Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu diharapkan kepada pihak Pemerintah Provinsi, Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
2.    Kami segenap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala          kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat di wilayah selatan menyatakan dengan tegas bahwa segera mencabut kembali Emoyou (Mou) yang telah dilakukan oleh Gubernur dengan PT. Hidro China untuk beroperasi di wilayah ogeiye selatan tanpa mengetahui hak ulayat setempat, sehingga dengan tegas kami nyatakan itu adalah Ilegal. Oleh karena itu  pemerintah provinsi dan Kabupaten harus memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan lekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan berdasarkan KUH Perdata Pasal 1320 tentang syarat-syarat syahnya suatu perjanjian. Yang menjadi pertanyaan bagi Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pihak perusahaan bahwa “ Berapa kali dan kapan dilakukan koordinasi dan kesepakatan atau suatu perjanjian dengan masyarakat adat dan Lembaga Masyarakat Adat yang berada diKapiraya yang terdapat dalam Kabupaten Paniai,Deiyai dan Kabupaten Dogiyai ?
3.    Lembaga Adat ini secara tegas menyatakan menolak kehadiran PT. Hidri China, apabila Pemerintah menghendaki PT ini beroperasi wilayah selatan, maka kami tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat dari 3 Kabupaten meminta kepada PT. Free port untuk segera membayar Hak ulayatnya, karena Hak ulayat Tembagapura dari sejak dibukanya PT. Free Port sampai sekarang tidak pernah membayar hak ulayat kepada suku Mee khususnya kami yang berdomisili di wilayah selatan. Apakah hak ulayat itu hanya di terima oleh Suku Amugme dan Kamoro sedangkan Suku Mee yang berdomisili di Wilayah selatan tidak mendapat bagian. Sedangkan kembali kesejarah suku Amugme, Kamoro dan suku Mee itu tidak ada perbedaan hanya satu keturunan sampai sekarang sudah memasuki generasi yang ke- 20-an.
4.    Kebijakan yang dilakukan Pemerintah daerah itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat, karena kebijakan yang dilakukan pemerintah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota pada kenyataannya mencari kepentingan bagi penguasa di daerah. Karena kehadiran lembaga Adat itu umumnya Pemerintah sudah tahu dan semestinya harus dihargai dan dihormati oleh pemerintah sebagai mitra di Daerah tetapi tidak pernah menghadirkan Lembaga Adat sampai saat ini, yang terjadi sekarang di wilayah selatan Pemerintah telah memberikan nama fiktif di daerah yang tidak sesuai dengan nama aslinya. Tujuan memberikan nama fiktif ini oleh pemerintah hanya menyamarkan sebagai pemilik hak diatas tanah ini demi meloloskan kepentingan perutnya sendiri tanpa melihat kemajemukan masyarakat. Kalau memang demikian Lembaga Adat meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan data sejarah yang akurat mengenai wilayah Selatan ini.  Pemberian nama fiktif yang diberikan pemerintah adalah pertama nama fiktifnya adalah URUMUKA. Kata URUMUKA ini berasal dari bahasa Kamoro. Sedangkan nama aslinya adalah Kali Yawei . Kata  “Yawei”  ini berasal dari bahasa Mee bukan Urumuka. Kedua Pemerintah daerah harus tahu bahwa Kali Yawei ini berada di wilayah Kabupaten Deiyai bukan di Kabupaten Mimika. Ketiga Pemberian nama kali Yawei tidak sesuai dengan sebutan Suku Mee.
Nama fiktif ini tidak sesuai dengan karakteristik budaya orang Mee diwilayah selatan, pemerintah daerah janganlah sewenang-wenang mengambil kebijakan tanpa koordinasi dengan lembaga adat setempat, karena pemerintah tidak mempunyai tanah tetapi yang punya tanah adalah masyarakat adat, sehingga Emoyou yang dibuat antara Gubernur Provinsi Papua dengan Perusahaan / PT. Hidro China, untuk akan masuk investor PLTA di Kali Yawei itu adalah illegal, sehingga lembaga adat bersama seluruh masyarakat adat yang berada diwilayah selatan kami tolak sepenuhnya.
5. Pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten serta Perusahaan / PT. Hidro China, yang prinsipnya akan beroperasi diwilayah selatan yang rencana akan mengadakan penelitian di tahun ini dalam rangka membangun PLTA dikali yawei perlu diketahui bahwa wilayah selatan adalah wilayah dalam Lembaga Adat yang sedang diatur oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, karena wilayah yang dimiliki lembaga ini bukan tanah liar, akan tetapi tempat berburuh nenek moyang kami yang turun-temurun hingga generasi kegenerasi sampai sekarang sudah memasuki generasi yang ke 20-an.
6.  Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi, berhak untuk mendapatkan ganti rugi, diatas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara tradisional atau duduki atau gunakan. Jika ada perusahaan yang hendak mensurvei atau operasi di suatu daerah atau wilayah harus ada persetujuan dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah  Selatan Kabupatan Paniai, Deiyai dan Dogiyai  secara bebas, sebelumnya harus ada pemberitahuan yang jelas dari Pemerintah ataupun perusahaan yang berwenang.
7.  Ada beberapa hal yang perlu pemerintah ketahui bahwa :
a.    Surat Ijin dalam bentuk apapun yang beroperasi / mensuvei di bagian selatan tidak boleh diterbitkan oleh pemerintah terlebih dahulu, tetapi harus koordinasi dengan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai, setelah ada persetujuan dari Lembaga adat maka akan menerbitkan Surat Ijin barulah pemerintah mengeluarkan surat ijin perusahaan.
b.    Bagian selatan merupakan wilayah kerja lembaga adat secara sah dan mempunyai berbadan hukum sehingga perlu diatur dan diawasi sumber daya alam yang terkadung di dalam wilayah kerja lembaga adat tersebut agar terarah pengawasan lingkungan hidupnya.
c.    Perusahaan / PT. Hidro China yang rencana beroperasi diwilayah selatan adalah Perusahaan Ilegal. Oleh karena itu MRP, DPRP Provinsi Papua, DPRD Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Mimika segera menindak lanjuti sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh rakyat. Untuk itu PT.Hidro China segera ditarik kembali dan diberhentikan untuk dioperasi ataupun di survei, karena Perusahaan itu adalah Ilegal. Sekretaris Umum LMA-O “ Diyoweitopoke.



Lembaga Masyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” di Wilayah  Selatan Kabupatan Paniai, Deiyai dan Dogiyai, An. Andreas  Pakage, SH. M.Hum Vs  Simon Pakage, SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar