Pertanyaan Umum[quote=andreas pakage, SH]
[b]LMA-O “ DIYOWEITOPOKE “ MENOLAK IJIN PERUSAHAAN PLTA[/b]
Agus Anouw- Ketua Umum Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, membuat satu pernyataan sikap penolakkan study kelayakan Ijin PLTA di Kali Yawei Kopai Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai yang berkaitan dengan PLTA yang secara diam-diam telah mekabuda di mbuat MOU (Memorandum Of Understand) antara Gubernur Provinsi Papua dengan Perusahaan / PT. Hidro China tanpa melibatkan Lembaga adat yang berwenang, sehingga Lembaga Adat bersama masyarakat Adat yang berada di 3 (tiga) Kabupaten beranggapan bahwa MOU (Memorandum Of Understand) yang telah dibuat oleh kedua pihak adalah Ilegal.
Pemerintah Provinsi Papua terutama Gubernur harus memahami, memperhatikan dan menghargai hak-hak dasar orang asli Papua yang telah tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Organisasi Kemasyarakatan yang ada di Papua khususnya Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai dibawah naungan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai. Sesuai amanat UU Nomor 21 Tahun 2001, Bab XI pada Pasal 43 menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, melindungi dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat setempat.
Pemerintah daerah harus mengakui, menghargai dan menghormati lembaga adat sebagai mitra Pemerintah dalam percepatan pembangunan di daerah, maka diharapkan Pemerintah Daerah perlu menyikapi pernyataan sikap penolakkan ini secara adil dan bijaksana sebagai ciptaan Tuhan agar surat pernyataan sikap Penolakkan ini berasal dari rakyat berarti Suara Tuhan yang perlu ditindak lanjuti dan dipertanggungjawabkan oleh MRP, DPRP, Pemerintah Provinsi (Gubernur) Papua, Bupati serta DPRD Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Mimika.
Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, maka kami selaku tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat yang berdomisili dibagian ogeiye selatan yakni gunung mimika barat (Tembagapura), Bouwobado, kapiraya sampai di etouw yang terdapat di 3 (tiga) kabupaten menyampaikan dan menolak ijin perusahaan Hidro China yang rencananya akan masuk investor perusahaan PLTA di Kali Yawei Distrik Kapiraya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :
1. Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab XI tentang perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) berbunyi : Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu diharapkan kepada pihak Pemerintah Provinsi, Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
2. Kami segenap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat di wilayah selatan menyatakan dengan tegas bahwa segera mencabut kembali Emoyou (Mou) yang telah dilakukan oleh Gubernur dengan PT. Hidro China untuk beroperasi di wilayah ogeiye selatan tanpa mengetahui hak ulayat setempat, sehingga dengan tegas kami nyatakan itu adalah Ilegal. Oleh karena itu pemerintah provinsi dan Kabupaten harus memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan lekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan berdasarkan KUH Perdata Pasal 1320 tentang syarat-syarat syahnya suatu perjanjian. Yang menjadi pertanyaan bagi Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pihak perusahaan bahwa “ Berapa kali dan kapan dilakukan koordinasi dan kesepakatan atau suatu perjanjian dengan masyarakat adat dan Lembaga Masyarakat Adat yang berada diKapiraya yang terdapat dalam Kabupaten Paniai,Deiyai dan Kabupaten Dogiyai ?
3. Lembaga Adat ini secara tegas menyatakan menolak kehadiran PT. Hidri China, apabila Pemerintah menghendaki PT ini beroperasi wilayah selatan, maka kami tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat dari 3 Kabupaten meminta kepada PT. Free port untuk segera membayar Hak ulayatnya, karena Hak ulayat Tembagapura dari sejak dibukanya PT. Free Port sampai sekarang tidak pernah membayar hak ulayat kepada suku Mee khususnya kami yang berdomisili di wilayah selatan. Apakah hak ulayat itu hanya di terima oleh Suku Amugme dan Kamoro sedangkan Suku Mee yang berdomisili di Wilayah selatan tidak mendapat bagian. Sedangkan kembali kesejarah suku Amugme, Kamoro dan suku Mee itu tidak ada perbedaan hanya satu keturunan sampai sekarang sudah memasuki generasi yang ke- 20-an.
4. Kebijakan yang dilakukan Pemerintah daerah itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat, karena kebijakan yang dilakukan pemerintah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota pada kenyataannya mencari kepentingan bagi penguasa di daerah. Karena kehadiran lembaga Adat itu umumnya Pemerintah sudah tahu dan semestinya harus dihargai dan dihormati oleh pemerintah sebagai mitra di Daerah tetapi tidak pernah menghadirkan Lembaga Adat sampai saat ini, yang terjadi sekarang di wilayah selatan Pemerintah telah memberikan nama fiktif di daerah yang tidak sesuai dengan nama aslinya. Tujuan memberikan nama fiktif ini oleh pemerintah hanya menyamarkan sebagai pemilik hak diatas tanah ini demi meloloskan kepentingan perutnya sendiri tanpa melihat kemajemukan masyarakat. Kalau memang demikian Lembaga Adat meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan data sejarah yang akurat mengenai wilayah Selatan ini. Pemberian nama fiktif yang diberikan pemerintah adalah pertama nama fiktifnya adalah URUMUKA. Kata URUMUKA ini berasal dari bahasa Kamoro. Sedangkan nama aslinya adalah Kali Yawei . Kata “Yawei” ini berasal dari bahasa Mee bukan Urumuka. Kedua Pemerintah daerah harus tahu bahwa Kali Yawei ini berada di wilayah Kabupaten Deiyai bukan di Kabupaten Mimika. Ketiga Pemberian nama kali Yawei tidak sesuai dengan sebutan Suku Mee.
Nama fiktif ini tidak sesuai dengan karakteristik budaya orang Mee diwilayah selatan, pemerintah daerah janganlah sewenang-wenang mengambil kebijakan tanpa koordinasi dengan lembaga adat setempat, karena pemerintah tidak mempunyai tanah tetapi yang punya tanah adalah masyarakat adat, sehingga Emoyou yang dibuat antara Gubernur Provinsi Papua dengan Perusahaan / PT. Hidro China, untuk akan masuk investor PLTA di Kali Yawei itu adalah illegal, sehingga lembaga adat bersama seluruh masyarakat adat yang berada diwilayah selatan kami tolak sepenuhnya.
5. Pemerintah daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten serta Perusahaan / PT. Hidro China, yang prinsipnya akan beroperasi diwilayah selatan yang rencana akan mengadakan penelitian di tahun ini dalam rangka membangun PLTA dikali yawei perlu diketahui bahwa wilayah selatan adalah wilayah dalam Lembaga Adat yang sedang diatur oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, karena wilayah yang dimiliki lembaga ini bukan tanah liar, akan tetapi tempat berburuh nenek moyang kami yang turun-temurun hingga generasi kegenerasi sampai sekarang sudah memasuki generasi yang ke 20-an.
6. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi, berhak untuk mendapatkan ganti rugi, diatas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara tradisional atau duduki atau gunakan. Jika ada perusahaan yang hendak mensurvei atau operasi di suatu daerah atau wilayah harus ada persetujuan dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupatan Paniai, Deiyai dan Dogiyai secara bebas, sebelumnya harus ada pemberitahuan yang jelas dari Pemerintah ataupun perusahaan yang berwenang.
7. Ada beberapa hal yang perlu pemerintah ketahui bahwa :
a. Surat Ijin dalam bentuk apapun yang beroperasi / mensuvei di bagian selatan tidak boleh diterbitkan oleh pemerintah terlebih dahulu, tetapi harus koordinasi dengan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai, setelah ada persetujuan dari Lembaga adat maka akan menerbitkan Surat Ijin barulah pemerintah mengeluarkan surat ijin perusahaan.
b. Bagian selatan merupakan wilayah kerja lembaga adat secara sah dan mempunyai berbadan hukum sehingga perlu diatur dan diawasi sumber daya alam yang terkadung di dalam wilayah kerja lembaga adat tersebut agar terarah pengawasan lingkungan hidupnya.
c. Perusahaan / PT. Hidro China yang rencana beroperasi diwilayah selatan adalah Perusahaan Ilegal. Oleh karena itu MRP, DPRP Provinsi Papua, DPRD Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Mimika segera menindak lanjuti sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh rakyat. Untuk itu PT.Hidro China segera ditarik kembali dan diberhentikan untuk dioperasi ataupun di survei, karena Perusahaan itu adalah Ilegal. Sekretaris Umum LMA-O “ Diyoweitopoke.
Dari : Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupatan Paniai, Deiyai dan Dogiyai An. Simon Pakage, SH. Vs Andreas Pakage, SH
LMA-O “ DIYOWEITOPOKE “ MENOLAK PENGEMBANGAN HIDRO POWER ( PLTA )
Gubernur Papua, Barnabas Suebu di Timika, Rabu tanggal 17 Maret 2010 Jam 06.25 WIB mengatakan jajarannya telah menjalin kerja sama dengan PT.PLN Wilayah Papua mengembangkan proyek Hidro power pertama di sungai urumuka Kapiraya Distrik Mimika Barat Tengah berkekuatan 10 ribu megawatt (MW). Gubernur Papua sudah menjajaki kerja sama sumber pendanaan proyek ini dengan pihak Bank Mandiri dan Duetehe Bank (Bank Jerman). Gubernur mengharapkan proyek ini secepatnya dibangun dan nantinya akan menyuplaikebutuhan listrik PT. Free port Indonesia sekitar Rp 2 triliun pertahun.
Ketua Umum Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, Agus Anouw menyatakan sikap penolakkan study kelayakan pengembangan Hidro Power (PLTA) sungai urumuka distrik mimika barat Kapiraya. Oleh karena itu kami penanyakan kepada Gubernur Papua bahwa : 1. Apakah pengembangan proyek Hidro power yang akan dibangun di sungai urumuka ataukah sungai yawei di kapiraya ? Apakah sungai urumuka itu benar berada di wilayah Kabupaten mimika ataukah Sungai Yawei itu berada di wilayah Kabupaten Deiyai ? Kapan Gubernur Papua tahu sungai Urumuka dan berapa kali Gubernur Papua turun ke Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai ? dan Kapan Gubernur Papua, Bupati Mimika dan Bupati Deiyai bertatap muka dengan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai ? Ketua Umum LMA-O meminta Gubernur dan Bupati Mimika serta Bupati Deiyai segera menjelaskan sejarah wilayah Kapiraya secara akurat sesuai dengan budaya setempat ? mohon penjelasan dari Gubernur dan Kedua Bupati. 2. Sungai yang dikenall masyarakat umumnya di wilayah selatan adalah Sungai Yawei Kopai kabuda Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai bukan sungai Urumuka (bahasa Kamoro) di distrik Mimika barat di Kapiraya. 3. Sungai Yawei berada diwilayah Kabupaten Deiyai bukan Kabupaten Mimika. Oleh karena itu Pemberian nama fiktif oleh pejabat adalah keliru atau tidak benar maka diharapkan segera mengantikan namanya sesuai dengan karakteristik budaya suku orang Mee.
Apabila yang secara diam-diam telah membuat Emyou ataupun MOU (Memorandum Of Understand) antara Gubernur Provinsi Papua dengan Proyek Hidro Power / Perusahaan lainnya tanpa melibatkan Lembaga adat yang berwenang, maka Lembaga Adat bersama masyarakat Adat yang berdomisili di 3 (tiga) Kabupaten beranggapan bahwa emyou / MOU (Memorandum Of Understand) yang telah dibuat oleh kedua pihak adalah Ilegal.
Sekretaris Umum LMA-O Simon Pakage, SH. membenarkan bahwa sebetulnya Pemerintah Provinsi Papua terutama Gubernur adalah wakil Allah di bumi harus memahami, memperhatikan dan menghargai hak-hak dasar orang asli Papua yang telah tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta Organisasi Kemasyarakatan yang ada di Papua khususnya Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai dibawah naungan Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai. Sesuai amanat UU Nomor 21 Tahun 2001, Bab XI pada Pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) menegaskan bahwa pemerintah mengakui, menghormati, melindungi dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat setempat. Karena Lembaga adat sebagai mitra Pemerintah dalam percepatan pembangunan di daerah, maka diharapkan Pemerintah Daerah perlu menyikapi sikap penolakkan ini secara adil dan bijaksana sebagai ciptaan Tuhan. Sikap Penolakkan ini berasal dari hati nurani rakyat sendiri berarti Suara Tuhan yang perlu ditindak lanjuti oleh MRP, DPRP, Gubernur Papua, Bupati serta DPRD Deiyai dan DPRD Kabupaten Mimika.
Semua unsur masyarakat yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat yang berdomisili dibagian ogeiye selatan yakni gunung mimika barat (Tembagapura), Bouwobado, kapiraya sampai di etouw yang terdapat di 3 (tiga) kabupaten menyampaikan dan menolak pengembangan Hidro Power (PLTA) yang rencananya akan masuk investor PLTA di sungai Yawei Distrik Kapiraya Kabupaten Deiyai menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :
1. Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab XI tentang perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) berbunyi : Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu diharapkan kepada pihak Pemerintah Provinsi, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Deiyai wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
2. Kami segenap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat di wilayah selatan menyatakan dengan tegas bahwa segera mencabut kembali Emoyou (Mou) yang telah dilakukan antara Gubernur dengan Proyek Hidro Power untuk beroperasi di wilayah ogeiye selatan tanpa mengetahui hak ulayat setempat, sehingga dengan tegas kami nyatakan itu adalah Ilegal. Oleh karena itu pemerintah provinsi dan Kabupaten harus memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan berdasarkan KUH Perdata Pasal 1320 tentang syarat-syarat syahnya suatu perjanjian. Yang menjadi pertanyaan bagi Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pihak perusahaan bahwa “ Berapa kali dan kapan dilakukan koordinasi dan kesepakatan atau suatu perjanjian dengan masyarakat adat dan Lembaga Masyarakat Adat yang berada diKapiraya yang terdapat dalam Kabupaten Paniai,Deiyai dan Kabupaten Dogiyai ?
3. Lembaga Adat ini secara tegas menyatakan menolak kehadiran Proyek Hidro Power, apabila Pemerintah menghendaki proyek ini beroperasi wilayah selatan, maka tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh perempuan, para kepala kampung, para kepala adat, para kepala dusun, para Mahasiswa bersama Masyarakat Adat dari 3 Kabupaten meminta kepada PT. Free port untuk segera membayar Hak ulayatnya, karena Hak ulayat Tembagapura dari sejak dibukanya PT. Free Port sampai sekarang tidak pernah membayar hak ulayat kepada suku Mee khususnya kami yang berdomisili di wilayah selatan. Apakah hak ulayat itu hanya di terima oleh Suku Amugme dan Kamoro sedangkan Suku Mee yang berdomisili di Wilayah selatan tidak mendapat bagian.
4. Kebijakan buruk yang dilakukan Pemerintah daerah itu tidak sesuai dengan keinginan rakyat, karena kebijakan yang dilakukan pemerintah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota pada kenyataannya mencari kepentingan bagi penguasa di daerah. Karena kehadiran lembaga Adat itu umumnya Pemerintah sudah tahu dan semestinya harus dihargai dan dihormati oleh pemerintah sebagai mitra di Daerah tetapi tidak pernah menghadirkan Lembaga Adat sampai saat ini, yang terjadi sekarang di wilayah selatan Pemerintah telah memberikan nama fiktif di daerah yang tidak sesuai dengan nama aslinya. Tujuan memberikan nama fiktif ini oleh pemerintah hanya menyamarkan sebagai pemilik hak diatas tanah ini demi kepentingan perutnya sendiri tanpa melihat kemajemukan masyarakat kecil. Kalau memang demikian Lembaga Adat meminta kepada pemerintah daerah untuk memberikan data sejarah yang akurat mengenai wilayah Selatan ini.
5. Pemerintah Provinsi, Kabupaten serta Proyek Hidro Power, yang prinsipnya akan beroperasi diwilayah selatan yang rencananya akan mengadakan study kelayakan di tahun ini dalam rangka membangun PLTA disungai yawei perlu diketahui bahwa wilayah selatan adalah wilayah dalam Lembaga Adat yang sedang diatur oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupaten Paniai, Deiyai dan Kabupaten Dogiyai, karena wilayah yang dimiliki lembaga ini bukan tanah liar atau tanah buangan, tetapi tempat berburuh nenek moyang kami yang turun-temurun hingga generasi kegenerasi sampai sekarang sudah memasuki generasi yang ke 20-an.
6. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) mengatakan bahwa masyarakat adat berhak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara tradisional, diami atau kalau tidak gunakan atau peroleh; masyarakat adat berhak untuk memiliki menggunakan, mengembangkan dan mengawasi tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki dengan alasan kepemilikan tradisional atau pendudukan tradisional lainnya atau penggunaan, juga yang mereka telah peroleh. Negara patut memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah, wilayah dan sumber daya ini. Pengakuan seperti ini akan dilakukan dengan menghargai adat, tradisi dan sistem pemamfaatan tanah dari masyarakat adat terkait, sehinga tidak ada diskriminasi, berhak untuk mendapatkan ganti rugi, diatas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara tradisional atau duduki atau gunakan. Jika ada perusahaan yang hendak beroperasi diwilayah selatan maka harus ada persetujuan dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Mee Ogeiye (LMA-O) “Diyoweitopoke” Wilayah Selatan Kabupatan Paniai, Deiyai dan Dogiyai
7. Ada beberapa hal yang perlu pemerintah ketahui bahwa :
a. Surat Ijin dalam bentuk apapun yang beroperasi / mengadakan study kelayakkan di bagian selatan tidak boleh diterbitkan oleh pemerintah terlebih dahulu, tetapi harus koordinasi dengan Lembaga Adat yang berwenang, setelah ada persetujuan dari Lembaga adat maka akan menerbitkan Surat Ijin barulah pemerintah mengeluarkan surat ijin operasi ataupun study kelayakkan.
b. Bagian selatan merupakan wilayah kerja lembaga adat secara sah dan mempunyai berbadan hukum sehingga perlu diatur dan diawasi sumber daya alam yang terkadung di dalam wilayah kerja lembaga adat tersebut agar terarah pengawasan lingkungan hidupnya.
c. Proyek Hidro Power yang rencananya beroperasi diwilayah selatan adalah Proyek ilegal. Oleh karena itu MRP, DPRP Provinsi Papua, DPRD Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Mimika segera menindak lanjuti sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh rakyat. Untuk itu pengembangan Proyek Hidro Power itu segera ditarik kembali dan diberhentikan untuk dioperasi ataupun study kelayakkannya, karena Perusahaan itu adalah ilegal. Badan Pengurus LMA-O “ Diyoweitopoke.
[/quote]